Saturday, February 6, 2010

Are they selfish, or am I??

Ini cuma sekadar sumbang pikiran buat semua yang baca ya...

Pernah ngga, mikir orang lain banyak nuntut dari kita? Atau mungkin ada orang yang dengan seenaknya --atau seenggaknya kita pikir mereka seenaknya-- nyuruh kita ini-itu?? G pernah...

Kadang-kadang g mikir, "Apaan sih, nyuruh-nyuruh?? Emang ngga bisa sendiri apa??" Dan biasanya pikiran kayak gitu bisa bikin kita bete, atau bahkan ngerasa perlu mem-blacklist orang itu kalau sudah keseringan. Nggak enaak banget...

Tapi kok g biasanya mau-mau aja ya ikutin ini-itu sesuai kata-kata mereka? Kok mau?

Jadi sebenarnya ini bagian dari isi otak g yang sudah langsung muncul kalau g mikir kayak yang di atas... Istilahnya, ya... Alam bawah sadar, kalau kata Romy Rafael... Jadi, ada satu pikiran yang otomatis muncul tepat setelah g mikir nggak enak disuruh-suruh atau diminta-mintain sesuatu... Isinya, seperti judul post ini, "Are they selfish, or am I?? Sebenernya yang egois itu mereka, atau jangan-jangan g yang lebih egois dari mereka??"

Isi pikiran itu, entah kenapa, selalu bisa membuat g langsung pulih dari mood g yang ancur beberapa detik sebelumnya... Entah kenapa, g lebih bisa menerima perlakuan itu, karena g yakin, pasti g juga secara tidak sadar sering seperti itu... Mungkin g secara tidak sadar sering nyuruh-nyuruh orang, atau mungkin g bersikap bossy, dan mungkin juga mereka nggak suka itu... Jadi sebagai gantinya, bukankah lebih enak kalau g turutin aja apa mau mereka?? Tentunya dengan menyortir apakah permintaan mereka itu masuk akal n berakibat baik atau ngga... Kalau mereka minta g bawa ini-itu untuk tugas, kan maksud mereka baik... Tapi kalau mereka nyuruh g terjun ke Kali Angke, masa g ikut turutin juga??


Jadi intinya, sebelum kita marah-marah atau melakukan aksi tutup mulut karena kesal gara-gara berpikir orang laen egois, alangkah baiknya kalau kita refleksi diri dulu, sebenernya mereka yang egois, atau kita yang egois?? Karena selain bisa membantu kita berpikir positif (think positive is great for health, you know?), mood kita juga nggak bakal terlalu ambles...



So, "Are they selfish, or are you?"

Derita Emily, Refleksi Kita

"People say GOD is dead, but how can they think that if I show them the Devil?"




Kalimat itu hanyalah sebaris dari surat Emily Rose kepada Father Moore yang dibacakan di pengadilan. Dan sekaligus sebaris kalimat yang saya kutip dari film Exorcism of Emily Rose yang baru saya tonton Halloween 2009, dini hari.

 
Film ini bercerita mengenai pengadilan mengenai kematian seorang gadis bernama Emily Rose yang dituduh menderita epilepsi. Cerita ini berpusat tentang bagaimana seorang pengacara bernama Erin Bruner berusaha untuk membebaskan Father Moore dari penjara. Ia kemudian mengungkap sebanyak mungkin bukti yang menunjukkan bahwa Emily dirasuki Iblis dan Father Moore berusaha mengusirnya. Dari bukti-bukti tersebut, dapat diketahui apa yang sebenarnya terjadi.

Saya sendiri sebenarnya tidak melihat seluruh filmnya, tapi setidaknya saya tidak melewatkan bagian-bagian terpenting dari film itu. Ada adegan mengenai exorcism yang dilakukan oleh Father Moore pada tanggal 31 Oktober. Dalam adegan ini terungkap bahwa Iblis yang merasuki Emily bukan hanya satu, tapi enam sekaligus. Demikian kata-katanya:


"(in Hebrew) I am the one who dwelt within Cain!
(in Latin) I am the one who dwelt within Nero!
(in Greek) I once dwelt within Judas!
(in German) I was with Legion!
(in Assyrian Neo-Aramaic) I am Belial!
(in English) And I am Lucifer, the Devil in flesh!"
*) Diambil dari http://www.imdb.com/title/tt0404032/quotes

Lalu ada juga bagian di mana dibacakan surat yang ditujukan kepada Father Moore, isinya adalah kesaksian bahwa ia melihat Bunda Maria menawarkan dia pilihan: Pertama, ikut ke surga dan mengakhiri penderitaannya. Kedua, tetap di bumi di dalam tubuhnya, di mana setan-setan tidak akan meninggalkannya, tapi menyatakan kepada dunia bahwa Tuhan dan Iblis itu ada.

Lalu apa keputusannya? Ia memilih untuk tinggal di bumi, menanggung penderitaan, untuk mewartakan kemuliaan Tuhan.



Hal ini menjadi refleksi bagi kita. Kisah Emily Rose (based on true story about Anneliese Michel) membuat kita berfikir: Sebegitu besarnya penderitaan seorang gadis yang taat pada Tuhan. Banyak orang yang berfikir: jika kita hidup dalam Tuhan, semua akan menyenangkan. Timbullah sebuah pertanyaan: Apakah Tuhan tidak melindungi Emily sehingga ia disiksa sedemikian rupa oleh iblis?


Kita harus kembali melihat ke belakang. Santo-Santa sebagian besar mengalami penderitaan-penderitaan untuk Tuhan. Mereka juga manusia seperti kita, tapi mereka memiliki iman yang begitu kuat dan entah mengapa iman tersebut membuat mereka kuat dalam menjalani hidup untuk Tuhan. Anneliese Michel dari Jerman, yang menginspirasi film ini, begitu kuat dalam menjalani cobaan. Padahal dia adalah gadis muda berusia sekitar 20-23 tahun.

 


Hal ini seharusnya menjadi refleksi bagi kita. Banyak manusia yang rela menderita demi Tuhan. Penderitaan Anneliese Michel yang divisualisasikan di film ini dan penderitaan Yulia Kim (mendapat stigmata) hanya sebagian kecil dari penderitaan manusia-manusia yang menderita karena tetap di jalan Tuhan. Kita hanya mengalami penderitaan-penderitaan kecil. Tapi kadang kita sudah lari dari Tuhan.

Sekarang saatnya kita mulai berfikir,

"Apakah kita akan tetap bertahan untuk Tuhan di tengah keadaan seperti Emily, atau Anneliese? Apa kita sudah cukup beriman pada Tuhan?"




Mungkin ada yang menganggap tulisan ini gak jelas, ngalor-ngidul, lari-lari dari main ideanya. Untuk pertama kalinya, saya menulis dengan sedemikian emosionalnya sehingga saya sendiri kesulitan menjaga tulisan saya agar tetap sesuai guide line. Karena itu, untuk lebih memahami isi tulisan ini, saya merekomendasikan film Exorcism of Emily Rose kepada semua pembaca yang tertarik. Film ini sangat menginspirasi betapa sulitnya seseorang mewartakan kebenaran sekaligus betapa sulitnya kita harus menahan cobaan untuk Tuhan.




Philippians 2:12 said "Work out your own salvation, with fear and trembling."

Who Wants to be A Humble Bee??

G baru aja balik dari Bina Iman (dulu disebut retret sama sekolah) SMAK 6 kemaren. G jadi panitianya bersama-sama dengan 5 orang siswa SMAK 6 kelas XI lainnya dan 4 orang guru. Tadinya jujur aja, saya sedikit pesimis acara ini akan berhasil. Kenapa? Karena panitia kali ini tidak memakai jasa vendor untuk mempersiapkan berbagai permainannya. Ternyata kita berhasil.


 Sekian saya berbicara mengenai pengalaman saya menjadi panitia Bina Iman. Sekarang saya akan mulai berbicara mengenai isinya. Tema Bina Iman SMAK 6 kali ini adalah Humble Bee. Kenapa Humble? Dan kenapa Bee?

Pertama, tema dari PENABUR untuk tahun ajaran ini adalah kerendahan hati. Karena SMAK 6 hanyalah salah satu cabang dari PENABUR, tentunya kita harus mengikuti tema utama dari PENABUR ini. Hal ini masih mudah dipahami.


Untuk pertanyaan kedua, kenapa harus Bee? Kenapa lebah yang kita pakai dalam tema kita? Dalam ibadah pembuka Bina Iman kemarin, Pdt. Bonnie bercerita bahwa secara keseluruhan, lebah terbagi menjadi tiga. Lebah ratu, lebah pekerja, dan lebah jantan. Masing-masing memiliki tugas yang penting bagi komunitas, tapi tidak ada yang menyombongkan diri. Semuanya akhirnya berjalan dengan baik.



Apa aja sih yang menjadi pembicaraan dalam Bina Iman ini?

Dalam sesi pertama oleh Pdt. Bonnie yang bertajuk "Why Should I??" sempat ditunjukkan apa yang terjadi apabila kita menjadi orang yang tidak rendah hati. Ada orang pekerja bangunan yang sedang melempar batu bata ke bawah. Ketika orang yang menerima lemparan batu bata menoleh sebentar saja, batu bata itu jatuh mengenai kepalanya. Ada juga kesalahan-kesalahan konyol yang dilakukan pemain-pemain sepak bola, padahal beberapa dari mereka adalah pemain papan atas seperti David Beckham, dll. Ada juga orang tua yang sedang berorasi, karena sangat bersemangatnya, gigi palsunya copot.

Dia juga mengatakan, bahwa Allah dan teman-teman kita tidak suka orang yang sombong. Apabila kita memiliki teman yang sombong, biasanya kita menjauhinya, kan? Ternyata Allah juga begitu. Rupanya hal itu karena orang sombong tidak mensyukuri penyertaan dan berkat Allah, dan mereka menganggap diri mereka penyebab keberhasilan.

Jadi apa intinya? Ketika kita melakukan sesuatu karena kebiasaan, keahlian, dsb, kita sering merasa: "Ah, gampang... Sudah biasa...", dan itu menjadi awal mula kesombongan dan menjadi awal mula kegagalan. Tidak ada kan, yang mau menjadi kegagalan?

Di sesi kedua, Pdt. Izack mengingatkan kita tentang cara-cara menjadi rendah hati, dan ternyata untuk memulainya itu tidak sulit. Kita bisa memulainya dengan berdoa, tidak narsis, menghargai setiap orang, mendahulukan orang lain, bersikap sopan, mengalah, menerima celaan, dan tidak iri hati, serta tidak ketinggalan mengasihi dengan tulus.

Terakhir, Pdt. Riani dalam Dedication Service mengajak siswa untuk menonton sebuah film yang telah diedit agar menjadi lebih pendek, berjudul "Facing the Giants". Ini kali ketiga saya menontonnya, tapi saya tetap terharu ketika saya menontonnya. Apa yang ditunjukkan dalam film itu?

Ada sebuah tim futbol di sebuah sekolah bernama Shiloh Christian Academy. Tim ini selalu gagal menjadi pemenang. Sang pelatih yang bernama Grant Taylor pun akhirnya selalu memarahi tim tersebut. Ditambah lagi dengan persoalan-persoalan pribadi yang dialami sang pelatih membuatnya mulai mengalami kejatuhan. Tetapi ketika dia mulai berserah kepada Tuhan, dan mulai mengajak timnya untuk juga berserah kepada Tuhan, sebuah perubahan signifikan terjadi.


Timnya mendadak mendapat kemenangan di kejuaraan daerah, lalu permasalahan-permasalah pribadinya dapat terselesaikan. Yang lebih lagi, ia menjadi pembawa berkat dengan menjadi awal dari pertumbuhan iman siswa sekolah Shiloh Christian Academy. Betapa kerendahan hati dapat membuat seseorang menjadi sukses dan membawa berkat bagi orang lain.


Dari sesi-sesi itulah saya mendapatkan motivasi untuk menjadi lebih rendah hati lagi. Sekarang ini saya ingin mengajak orang-orang yang membaca tulisan saya ini untuk mulai merenungkan, apa kita mau mulai berubah untuk menjadi lebih rendah hati?






Jadi, who wants to be a humble bee?

Why don't I commit a suicide?

Hidup...




Untuk apa kita hidup? Kita sering menanyakan makna hidup kita sendiri. Kalau kita sudah mulai depresi, biasanya kita menanyakan hal itu. Biasanya alasan kita depresi karena hidup ini banyak masalah lah, karena diputus pacar lah, karena tmen kita mengkhianati kita, atau yang paling simple, karena tugas kita banyaaak banget, sampai kita mikir: "Buat apa bikin tugas-tugas ini? Ujung-ujungnya paling kumpulin ke guru, terus membusuk deh di rak buku..." Tugas kita sendiri, hasil karya kita, bisa membuat hidup kita nggak ada maknanya.


Jujur aja, saya juga bukannya nggak pernah mikir mau mati aja. Sering malah. Tapi apa yang bikin saya survive? Apa yang bikin saya masih mau bertahan hidup? Apa rahasia urat nadi saya belum saya potong? Apa?

Satu saja, hanya satu. Tuhan. Just a few minutes ago, saya mengomentari status salah satu teman saya di facebook. Saya tulis:

"Every sunrise LORD gives us, gives us one more day to help people
Every sunrise LORD gives us, gives us one more day to solve our problems
Every sunrise LORD gives us, gives us one more day to forgive
Every sunrise LORD gives us, gives us one more chance to have salvation"

Jadi cuma satu hal aja. Saya cuma menyadari kalau hidup ini anugerah Tuhan. Tuhan, yang sudah menciptakan saya, Dia menyayangi saya dengan begitu besarnya. Kalau saya sudah kehabisan alasan untuk hidup, maka saya akan berusaha untuk mulai berpikir:

"Tuhan masih menginginkan saya hidup. Dia belum menutup saluran pernafasan saya sampai saya tersedak. Dia belum meremas jantung saya sampai meledak. Dia sudah memberi saya semua yang saya butuhkan pada waktu saya memiliki banyak alasan untuk hidup. Apa salahnya kalau saya menyenangkan hati-Nya dengan memenuhi keinginan-Nya, yaitu saya tetap hidup?"

Jadi semua tetek-bengek yang saya tulis di atas hanya ada satu kesimpulan, jika cinta, pertemanan, keluarga, sahabat, atau yang lain sudah tidak lagi menjadi alasan hidup kita, tetaplah hidup, setidaknya untuk Tuhan.





--this post is dedicated for my friend, who thinks her life has no meaning--
--hope she'll have one more reason to live after she reads this post--

Supernatural: Welcome to the brotherhood...

"Dean: "Bitch."
Sam: "Jerk""




My personal favorite quote from the TV series. Supernatural tahun ini sudah memasuki season yang kelima. Tidak terasa tahun ini sudah menjadi tahun kelima the Winchester boys membantai Iblis. Masalah sudah semakin rumit sekarang dengan bangkitnya Lucifer. Tapi masalah berat tidak usah diungkin-ungkit di sini, oke??
Mari kita tilik saja "masa-masa bahagia" para Winchester di season 1 dan 2, di mana masalah tidak seberat pada season 3 dan seterusnya. Pada season 1, diceritakan bahwa Sam mengikuti Dean berburu pada awalnya adalah untuk membantu mencari sang ayah, John, yang menghilang. Tapi kemudian ia ikut berburu untuk melampiaskan dendamnya pada makhluk yang membunuh Jessica Moore, pacarnya, dan Mary Winchester, ibunya.

Tidak terdengar seperti hubungan kakak adik yang baik, bukan? Sang adik adalah mahasiswa jurusan pre-law Stanford yang berprestasi dan dipenuhi rasa dendam, sementara sang kakak adalah playboy jalanan yang berkeliaran di USA untuk membantai supernatural creatures...

Tapi justru perjalanan yang panjang tersebut membuat mereka akrab dengan cara yang lain. Kutipan "panggilan sayang" di atas adalah salah satu perwujudannya. Kata-kata yang awalnya dilontarkan dengan nada kesal pada episode Pilot (season 1) malah menjadi kata-kata yang ditunggu Dean untuk menjadi pelipur laranya (eps. What is and what should never be, season 2)...


Selain itu, terlihat juga betapa besarnya kasih sayang sang kakak pada adiknya. Pada akhir season 2, kita melihat upaya Dean untuk membangkitkan kembali Sam yang dibunuh oleh rivalnya, Jake. Ia bahkan sampai menjual jiwanya kepada Iblis hanya agar adiknya kembali bangun dan sembuh seperti sedia kala. Padahal ia tahu, resikonya adalah ia akan dijemput ke neraka dalam waktu satu tahun, itu pun jikalau ia tidak meninggal sebelum satu tahun...
Selain itu adiknya juga bukannya tidak menyayangi kakaknya. Begitu mengetahui bahwa kakaknya menjual jiwanya untuk menyelamatkan dia, Sam melakukan segala cara untuk membebaskan kakaknya dari belenggu perjanjian, walaupun taruhannya adalah nyawa.




Hubungan kakak dan adik dalam TV series ini memang aneh, namun patut dicontoh. Walaupun "kerjaan" mereka untuk mengungkapkannya adalah dengan "Bitch and jerk thing", namun yang lebih penting dari itu adalah hatinya, bukan begitu?

Nilai Kristiani dalam the Lord of the Rings

Sekuel ketiga the Lord of the Rings, yaitu the Lord of the Rings: the Return of the King, dibuka dengan adegan pembunuhan Déagol oleh Sméagol untuk merebut cincin yang ditemukan Déagol di dasar sungai. Lalu karena dipengaruhi cincin tersebut, perlahan-lahan Sméagol berubah menjadi makhluk menjijikan yang disebut Gollum. Hal ini adalah menggambarkan manusia yang berubah akibat pencobaan dan dosa (dikutip dari buku Bolehkah Orang Kristen Nonton Film? karangan Arie Saptaji).

Pada sudut pandang lain, kita bisa mencontoh sifat-sifat dari kesembilan tokoh utama. Kita bisa melihat Aragorn, si Penjaga Hutan yang ternyata adalah keturunan raja-raja agung. Dia melindungi bangsa yang bahkan tidak mengetahui pekerjaannya selama bertahun-tahun tanpa mengeluh. Kita juga bisa melihat persahabatan antara Legolas, si peri dari Mirkwood, dan Gimli, si kurcaci. Persahabatan mereka sangat akrab sampai-sampai disebut oleh J.R.R. Tolkien dalam buku the Lord of the Rings: the Return of the King yang telah diterjemahkan sebagai “lebih kental daripada persahabatan mana pun yang pernah ada antara Peri dan Kurcaci” (2004:435).

Tentunya kita juga bisa menilik sifat setia dari Samwise Gamgee. Di akhir the Lord of the Rings: the Fellowship of the Ring, ada bagian di mana Frodo Baggins hendak melakukan perjalanan ke Mordor sendirian, akan tetapi Sam memaksa untuk mendampingi majikannya tersebut, apapun yang terjadi, walaupun Frodo sudah melarangnya untuk mengikuti Frodo. Tentunya butuh rasa kasih yang sangat besar untuk membuat Sam meninggalkan sebagian besar kawanannya yang terdiri dari orang-orang hebat (Aragorn, Legolas, dan Gimli) hanya untuk mendampingi majikannya yang bertubuh kecil dan hanya membawa sebuah pedang warisan pamannya.



 Masih banyak yang bisa dipetik dari trilogi ini. Tulisan Arie Saptaji dalam bukunya, Bolehkah Orang Kristen Nonton Film? malah lebih mendalami lagi isi dari cerita ini. Saya merekomendasikan buku itu bagi orang-orang yang ingin lebih mendalami nilai-nilai Kristiani yang bisa didapat dari film-film.

Hello, World!

Kawan-kawan semua, akhirnya saya hijrah juga ke blogspot...

Salah satu temen saya kasih saran, katanya, mendingan saya bikin blognya di blogspot, karena jadi hak milik saya...

Jadi ya, sebelumnya saya uda punya blog yang sampai sekarang masih ada... Saya waktu itu pake friendster blogroll... Judulnya sama dengan blog ini, tapi postnya jauh lebih banyak, soalnya gak semua posts di blog lama saya dipindahin ke sini...

So, here it is, enjoy...