Bukan Almost Lover

“Goodbye my almost lover,
Goodbye my hopeless dream,
I’m trying not to think about you,
Can you just let me be...”



Jomblo lagi, jomblo lagi. 9 kali pacaran 9 kali putus sudah aku jalani. Kalau diibaratkan nyawa kucing, matilah kucing itu. Dari pacar pertamaku, Tino, sampai yang terakhir, Dudi, tidak tahan pacaran denganku. Bahkan untuk tiga bulan saja. Malang benar nasibku.
Hari ini tepat satu bulan sejak aku putus dengan Dudi. Lagu “Almost Lover” masih menjadi theme song kehidupanku. Bahkan saat ini aku sedang mendengarkan lagu itu di kelas sambil terus mencoba melupakan Dudi.
Tiba-tiba terdengar bunyi bel sekolah. KRING!! Dengan segera kumatikan I-Pod-ku dan kusembunyikan di dalam tas. Sebenarnya kan, tidak boleh membawa I-Pod ke sekolah. Tapi namanya juga anak SMA... Bandel-bandel.
Aku menengok ke bangku sebelah. Bangku itu masih kosong juga. Dulu, bangku tersebut diduduki sahabat terdekatku, Susi. Tapi tepat enam bulan yang lalu, ia pindah ke Manado. Ternyata bisa juga aku duduk sendiri tanpa Susi selama enam bulan penuh.
Tiba-tiba Pak Martin, Kepala SMA Sakti, memasuki ruang kelas, membuyarkan lamunanku. Ada apa gerangan? Apa Pak Denny, guru matematika, berhenti mengajar? Kalau betul, dijamin anak-anak sekelas akan berpesta semalam suntuk.
“Anak-anak, hari ini ada murid baru,” kata Pak Martin. Baru mendengar itu, teman-teman sekelasku langsung melengos. Ternyata mereka juga berpikir hal yang sama denganku. “Jadi nggak ada yang berhenti ngajar, Pak?” tanya Christian, berandal kelas X5. “Tidak ada, Tian. Memangnya kenapa?” tanya Pak Martin penasaran. “Tidak, kok, Pak... Tidak ada apa-apa...” kata Bobby, teman sebangku Christian, sambil cengar-cengir.
Sejenak Pak Martin menunjukkan raut wajah heran kepada kedua preman kelas itu. Awalnya kupikir ia akan menginterogasi mereka, tapi ternyata ia langsung melanjutkan perkenalan anak baru tersebut.
“Baiklah, seperti yang bapak bilang, hari ini ada murid baru di kelas ini. Dia pindahan dari Jakarta, namanya Dicky Pra... ‘Pra’ apa ya? Bapak lupa,” kata Pak Martin dengan ekspresi ling-lung. “Huuuuu!” teriak anak-anak sekelas. “Sudah! Sudah! Dicky, ayo masuk!” perintah Pak Martin dengan muka merah.
Anak baru itu melangkah masuk. Kemudian kupandang dia dari ujung kaki ke ujung kepala. Wow! Sempurna! Wajahnya bak malaikat, tinggi pula badannya. Tidak heran kalau bukan hanya aku yang terpana melihatnya. Ternyata pada saat yang sama, anak-anak cewek X5 dibuat diam seribu bahasa olehnya.
“Nama saya Dicky Prasetyo, pindahan dari Bandung. Teman-teman bisa memanggil saya Dicky,” katanya singkat.
“Oke, Dicky, sekarang kamu duduk di sana, baris ke dua dari pintu, ke 4 dari belakang. Kamu duduk di sebelah Minie,” kata Pak Martin.
Astaga! Manusia elok setengah malaikat ini akan duduk di sebelahku! Bahagianya...


--ooOOoo--



Sudah dua bulan Dicky duduk di sebelahku. Kami sekarang berteman akrab. Kami sering jalan-jalan berdua, bersenda gurau, dan makan bersama di kantin. Seperti hari ini. Hari ini kami akan berjalan-jalan ke mal. Itu dia datang menjemput.

Entah kenapa, perjalanan di mobil hari ini sepi. Dia tidak bicara sedikit pun. Ini memberiku—dan pikiranku—waktu untuk melalang buana ke antah berantah. Melamun, maksudnya. Aku jadi teringat, sejak mengenal Dicky, aku sudah tidak lagi teringat akan Dudi, atau Tino, atau Sammy, atau siapa pun yang dulu pernah ada di hatiku. Yang kuingat hanya Dicky, Dicky, dan Dicky. Lewat telepon juga, Susi mengatakan bahwa aku terdengar jauh lebih bahagia dan ceria dibanding waktu masa-masa aku putus dengan Dudi. Jangan-jangan... Aku suka Dicky?

“Min, Min... Min! MINIE ROSYTA! Sadar! Kita sudah sampai nih! Kamu ngelindur yah??” teriakan Dicky mengembalikanku ke kenyataan. “Oh. Ayo, turun...” kataku.
Tempat tujuan pertama, Gramed. Kita berdua memang suka membaca buku. Biasanya, kalau di Gramedia, kita selalu berdebat tentang buku mana yang pantas dibeli. Tapi kali ini dia diam saja.
Tempat kedua, DiscTarra. Dia masih juga melakukan aksi mogok bicara. Ada apa ini? Apa aku ada salah ya?
Tempat ketiga, Hokben. “Min, aku mau bicara serius, nih,” kata Dicky. Serius sekali wajahnya. “Ada apa Dick? Tidak biasanya kamu serius begini,” tanyaku penasaran. “Aku... Aku...”. “Bicaranya yang jelas... Jangan jadi ‘dong-dong’ begini, dong, Dick!” desakku sedikit bercanda. “Aku... Aku... Aduh, gimana, ya, cara ngomongnya?” kata Dicky pada diriku sendiri. Aduh... Aku jadi makin bingung...
“Aku suka kamu,” katanya singkat. Sejenak suasana pikiranku kosong—berusaha mencerna kata-katanya. Kemudian... What?! Dicky Prasetyo menyatakan perasaannya ke aku, Minie Rosyta?!
“A... Apa?” tanyaku tak percaya.
“Mau nggak kamu jadi pacarku?”. Pertanyaannya bagaikan peluru yang ditembak langsung ke jantungku. Mendadak dan akurat.
“Ah... Mmm... Bisa gak kita omongin besok saja? Beri waktu aku untuk berpikir ya,” kataku.
Hari itu acara jalan-jalan kami berakhir dengan suasana tegang.


--ooOOoo--

Malamnya aku berpikir semalaman. Aku memandangi foto-fotoku bersama Dicky. Foto waktu malam tahun baruan, waktu perayaan Imlek... Rasanya hatiku memang senang memandang wajahnya tapi aku ragu untuk menerima Dicky. Aku takut hal itu terulang lagi. Aku takut hubunganku dengan Dicky akan sama gagalnya dengan hubunganku yang sebelum-sebelumnya.
Malam itu juga, aku langsung keluar mencari warung pulsa terdekat dan membeli pulsa elektrik lima puluh ribu rupiah. Begitu sampai di rumah, aku langsung menelepon Susi. Mungkin dia bisa membantu.
“Oh, jadi dia nembak kamu?” tanya Susi santai.
“Serius dong... Aku benar-benar bingung nih, Sus!” sahutku kalut.
“Iya, iya... Kalau menurut aku sih, mending kamu pikirin dulu. Dan yang paling penting, tanya ke hati kamu sendiri. Kadang-kadang, hati kamu tahu lebih banyak dari otak kamu, loh...” kata Susi.
“Yah... Kalau begitu doang sih nggak akan ngebantu! Aduh, kamu kan jenius, Sus... Bantuin aku dong!” kataku lagi.
“Ih! Jenius dari mana?! Hongkong?! Kayak kamu nggak jenius saja... Lagian sejenius-jeniusnya aku, nggak akan pernah bisa menyelesaikan masalah kayak gini, ini kan masalah hati...” kata Susi sambil sedikit meringis dari balik telepon.
“Kalau menurut aku sih kamu terima saja dia. Aku lihat, dia sudah bisa bikin kamu bahagia kan selama ini... Tapi saran ini jangan dimakan mentah-mentah, ya... Secara aku juga kan gak pernah pacaran...” lanjut Susi dengan suara yang lebih serius.
“Gitu kek dari tadi! Trims yah... Kamu memang sahabatku yang paling baik deh!” kataku.
“Ya ampun! Kayak aku bakal rugi saja kalau kasih kamu saran... Mestinya kamu yang mikirin gimana caranya nalangin pulsa kamu yang bakal drop! Kan mahal, telepon selama ini, interlokal pula... Mendingan juga chatting pakai internet...” saran Susi.
“Dasar mata duitan! Pasti nilai akuntansi kamu nggak pernah jatuh... Hehe... Tapi nggak apa-apa deh... Yang penting masalah aku selesai... Trims yah... Bye...” aku menutup pembicaraan.
“Hohoho... Kembali...” jawabnya.
Kemudian aku mendengar suara telepon ditutup di ujung sana.
Ah, lega! Sekarang aku tahu apa yang harus kulakukan besok. Dan yang harus kulakukan sekarang...
Segera aku mengirim layanan pesan singkat alias SMS ke handphone Dicky. Bunyinya: “Bsk ktm d tmn dkt rmh ak, jam 8, ok?" (Besok ketemu di taman dekat rumah aku, jam 8 pagi, oke?). Besok kan hari Sabtu... SMA Sakti libur...


--ooOOoo-

Sekarang sudah 2 bulan 15 hari aku pacaran dengan Dicky. Aku masih ingat saat aku bilang mau pacaran dengannya. Dia langsung berlutut. Lemas. Lemas karena bahagia. Aku nggak perlu dengar sepatah kata pun dari dia. Yang aku tahu, dia tersenyum saat melihat ke wajahku.
Hari ini aku akan pergi jalan-jalan dengan Dicky. Kita akan makan-makan di restoran yang sama dengan waktu dia nembak dulu. Di Hokben.
Dia menjemputku tidak tepat waktu. Aneh. Dia kan ‘rajanya on time’.
Bukan hanya tidak tepat waktu , tapi hari ini dia memang aneh sekali. Dia diam saja di perjalanan, bahkan di mal. Biasanya, begitu masuk ke mobil, dia langsung mengajukan seribu lelucon maut yang siap mengocok perut siapa saja yang mendengarnya. Tapi kali ini tidak.
Begitu duduk di meja makan di Hokben, aku tidak dapat lagi menahan rasa ingin tahuku. “Ada apa, sih, Dick? Kok kamu diam saja?”
“Tidak ada apa-apa, kok, Min,” katanya datar.
“Jujur! Ada apa?” tanyaku mendesak.
“Nggak ada, serius,” katanya, mencoba meyakinkanku.
“Jangan bohong! Aku tahu kamu memikirkan sesuatu, Dick. Aku bisa lihat itu di matamu,” kataku bersikeras.
Tapi dia diam saja. Dia tidak mau menjawab. Sampai akhirnya, saat kami ada di mobil dalam perjalanan pulang...
“Baiklah, aku akan jujur. Tapi tolong, kamu jangan marah...” katanya.
“Itu tergantung apa yang kamu sembunyikan. Sekarang, ayo ceritakan,” jawabku.
“Dua minggu lagi, aku harus kembali ke Bandung. Ayahku kembali ditugaskan ke sana, dan aku harus ikut,” katanya lesu.
“A... ap...? Dua minggu?!” aku mengajukan pertanyaan retoris dengan marahnya.
“Menepi sekarang! Aku mau turun!” desakku.
Dia menepikan mobilnya dan aku dengan marahnya turun dari mobil itu dan berjalan menjauh. Dia juga ikut turun, mengejarku.
“Min, tolong, Min. Jangan marah. Aku juga sebenarnya nggak mau pindah, Min...”. Aku merasa kata-katanya seakan membujukku untuk segera naik lagi ke mobilnya.
Aku segera berbalik, menatapnya dengan rasa marah. “Setidaknya kan kamu bisa memberitahu dari jauh hari!” seruku. Aku pun mulai melangkah pergi.
Baru beberapa langkah, aku berhenti. Aku berhenti, menoleh, dan berkata, “Kamu jahat, Dick!”. Kemudian aku berlari, meninggalkan Dicky yang membisu.

--ooOOoo--


“Goodbye my almost lover,
Goodbye my hopeless dream,
I’m trying not to think about you,
Can you just let me be..."


Kembali aku mendengarkan lagu “Almost Lover”, sampai tiba-tiba Susi menelepon.

“Min, kata Dicky kalian lagi marahan, yah?” tanya Susi.

“Iya, sih... Tapi Dicky tahu dari mana nomor kamu?” aku balas bertanya.

“Siapa bilang... Dia kasih tahu aku lewat Friendster...” jawabnya singkat.

“Iya, nih... Kita lagi marahan... Katanya besok dia mau kembali ke Bandung,” jawabku lemas. Berita menyedihkan seperti ini saja bisa sampai Manado dengan cepat? Oh, ya. Jaringan internet kan nggak melihat tempat.

“Kapan dia kasih tahunya?” tanya Susi menginterogasiku.

“Tiga belas hari yang lalu,” jawabku. Aku pun teringat peristiwa tiga belas hari yang lalu itu.

“Um... Mestinya kamu jangan marah dulu sama Dicky... Dia kan...”

“Jadi kamu lebih membela dia?!” potongku marah.

“Bukan begitu...”

“Kamu lebih membela dia daripada aku?!” potongku lagi.

“Apa kamu...” kalimatku lah yang kali ini terpotong.

“Dengarkan dulu! Dia juga baru tahu paginya, pagi sebelum dia memberitahu kamu!” kata-kata Susi bergaung di telingaku, menggoncang pikiranku. Jadi... Dicky...

“Dia juga bingung bagaimana caranya ia akan memberitahu kamu, karena dia juga belum pulih dari shock-nya atas pemberitahuan mendadak dari ayahnya. Ya... Ayahnya juga nggak bisa disalahkan sih, dia juga baru tahu dari atasannya kemarin malamnya,” lanjut Susi.

“Astaga! Aku sudah membentak Dicky! Padahal dia nggak salah! Aduh, gimana dong, Sus...” aku mulai panik. Aku nggak mau Dicky pergi dengan berpikir aku membencinya. Aku menyesal karena tidak membaca SMS-nya. Aku menyesal karena tidak menjawab teleponnya. Aku benci diriku yang ini. Diriku yang marah pada Dicky.

“Kamu tenangkan dulu diri kamu, baru kita pikirkan,” saran Susi. Aku pun menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.

“Aku harus telepon Dicky. Harus,” kataku pada diriku sendiri.

“Oke. Kabari aku kalau ada apa-apa. Bye...” kata Susi.

“Bye...” jawabku.

Aku segera menelepon Dicky. Tapi ia tidak menjawab. Kucoba lagi, tapi tidak dijawab juga. Dia pasti kecewa sekali denganku. Oh...

--ooOOoo--


Aku tidak bisa tidur nyenyak semalaman. Aku terus terbayang-bayang kejadian itu. Kejadian saat aku marah padanya. Aku pun memutar lagi lagu Almost Lover, mencari ketenangan.

“Goodbye my almost lover,
Goodbye my hopeless dream,
I’m trying not to think about you,
Can you just let me be...”


TOK! Sebuah batu kerikil memukul jendela kamarku. TOK! Batu kerikil lainnya. Aku mengintip ke luar jendela. Dicky! Aku harus meminta maaf.

Aku pun berlari membuka pintu rumah dan menghambur ke pelukan Dicky. “Dicky! Maaf... maafin aku... Aku memang egois... Aku salah...” tangisku.

“Nggak... Kamu nggak salah kok...” kata Dicky menenangkan.

“Nggak, aku salah! Aku egois!” kataku bersikeras.

“Kamu nggak egois, kok. Kalau aku jadi kamu, aku akan melakukan hal yang sama juga dengan kamu... Sudah, kamu jangan menangis lagi...” kata Dicky.

“Kamu mau maafin aku?” tanyaku.

“Untuk apa? Kamu nggak salah kok?” jawab Dicky sambil tersenyum. Senyumnya yang manis dan menenangkanku.

“Iya juga, yah. Kalau dipikir-pikir, aku nggak sepenuhnya salah. Yang salah itu... Bosnya ayah kamu!” kataku bercanda.

Dia kelihatan kebingungan. “Susi sudah cerita semua yang kamu ceritakan ke dia lewat Friendster,” jawabku.

“Mulut ember,” gerutunya.

“Eits, dia itu sahabatku,” kataku mengingatkannya.

“Sahabatmu yang bermulut ember,” katanya melengkapi sambil bercanda. Kami pun tertawa bersama.

“Oh, ya! Kamu harus berangkat ke Bandung, kan? Cepat, nanti kamu terlambat,” sahutku.

“Nggak apa-apa, nih?” tanyanya.

“Nggak apa-apa. Keep contact, ya...” kataku melepas kepergiannya.



Ini pertama kalinya aku pacaran lebih dari tiga bulan. Dicky memang bukan “my almost lover”. Dialah “my lover”.


*) Sebenarnya, mau saya adalah untuk membuat sebuah parent page berjudul "Short Stories", tapi ternyata di blogspot nggak bisa, jadi kayaknya saya nggak akan meng-upload puisi-puisi seperti di blog lama saya, tapi kalau saya membuat cerpen lagi, maka akan saya upload dalam bentuk page lagi seperti ini... Sementara untuk yang ingin membaca puisi saya, silakan buka blog lama saya, ...fallen leaves..., di-klik aja link-nya... Thank you...