There’s many things I wish I didn’t do
But I continue learning
I never meant to do those things to you
And so I have to say before I go
That I just want you to know
I’ve found a reason for me
To change who I used to be
The reason to start over new
And the reason is you...
The Reason
- Hoobastank –
--oo00oo--
Bree...
Anthony Harding tidak pernah bisa benar-benar melupakan Brynn Johnson. Brynn yang tidak pernah menyukai namanya. Brynn yang bersikeras ingin dipanggil Bree. Brynn yang polos dan ceria.
Brynn yang telah ia sia-siakan...
Ia masih ingat kejadian satu tahun lalu itu...
--oo00oo--
“Tony...,” kata Bree lewat telepon, “aku benar-benar butuh bantuanmu. Apakah kau bisa menjemputku...”
“Maaf, aku sedang sangat sibuk dengan tugas-tugas kuliahku. Bye...” potong Tony cepat, lalu ia menutup teleponnya. Ia masih sempat mendengar Bree memanggil namanya untuk mencegahnya menutup telepon.
Gadis bodoh. Pikir Anthony sambil tertawa kecil.
“Siapa itu?” tanya Demi.
“Adikku,” jawab Tony. Tentu saja ia berbohong.
“Ayo kita berangkat. Aku ada kejutan untukmu,” kata Tony.
Mereka pun pergi menuju sebuah restoran mewah di seberang Rumah Sakit St. Bernadette.
“Kita akan makan malam di sini?” tanya Demi takjub.
“Kau suka?” tanya Tony sambil melingkarkan tangannya ke bahu Demi.
“Sangat. Mana mungkin aku tidak suka, Tony?” jawab Demi, sementara Tony membawanya ke sebuah meja yang telah dipesannya sambil mengangkat tangannya untuk menarik perhatian pelayan terdekat.
“Tolong bawakan pesanan atas nama Tn. Anthony Harding,” kata Tony.
“Hai, Bree...” kata Demi mendadak sambil memandang sesosok wanita di belakang Tony.
“Ap... Bree?” kata Tony tidak percaya sambil menengok ke belakang. Pada saat yang sama, ia merasakan aliran air yang dingin dari atas kepalanya, didahului oleh beberapa bongkah es.
Oh, tidak, pikir Tony.
“Bree! Apa yang kau lakukan?!” seru Demi kaget, melihat Bree menuangkan minum yang dibawanya ke atas kepala Tony.
“Kau pantas mendapatkannya,” kata Bree dingin, lalu berbalik dan pergi keluar restoran.
Melihat Brynn pergi, Tony segera mengejar Bree.
“Bree...” panggil Tony.
“Apa lagi? Apa itu tugas kuliahmu? Berpacaran dengan teman sekelasku? Itu tugas kuliahmu?” seru Bree marah.
“Bree... Itu...” jawab Tony gugup.
“Sudah cukup, Tony. Kurasa hubungan ini tidak perlu kita lanjutkan,” kata Bree.
“Huh! Kau ingin putus? Baik. Kau tahu? Aku memang ingin memutuskanmu sejak dulu, okay?” seru Tony mulai marah.
“Benarkah? Kalau begitu, tidak ada masalah lagi, kan? Jangan temui aku lagi!” kata Bree sambil berbalik, menangis, dan pergi.
“Pergi saja sana, gadis bodoh! Kau tidak berarti apa-apa bagiku!” seru Tony.
--oo00oo--
Dan ternyata Tony salah. Setelah beberapa minggu, ia mulai benar-benar merasakan betapa berartinya Bree baginya. Betapa Bree mempengaruhi hidupnya. Dan ia pun mulai menyadari arti rasa marah yang ia rasakan ketika Bree memutuskan hubungan mereka.
Bree... Seandainya kau tahu betapa aku menyesal, maukah kau memaafkanku? Batin Tony berkali-kali. Tapi semuanya sudah terlambat.
Tok tok tok...
Sebuah ketukan yang sangat keras terdengar dari luar pintu kamar Tony.
“Masuk...,” kata Tony. Sebentuk kepala kemudian muncul setelah pintu itu dibuka.
Oh, ibu...
“Tony, bisa kau kecilkan musiknya? Kami sangat terganggu di kamar sebelah,” kata Ny. Harding.
Astaga! Pikir Tony. Rupanya ia terlalu sibuk merenung, sampai-sampai ia lupa akan lagu milik Hoobastank yang terus-menerus ia putar dengan volume keras.
“Oh, tentu, Bu. Maaf, mungkin sebaiknya aku pergi tidur,” kata Tony sambil mematikan pemutar musiknya.
“Tentu saja, Tony. Besok kan hari pertamamu di semester 6,” kata Ny. Harding sebelum menutup pintu kamar Tony.
Semester 6. Huff...
--oo00oo--
Pagi itu cuaca mendung sekali. Seperti biasa, Tony pergi kuliah dengan muka muram karena cuaca mendung. Ia tidak suka jika harus meninggalkan motornya kehujanan di lapangan parkir motor kampus yang tidak beratap.
Tiba-tiba...
BRAKK!!!
Tony pun segera menoleh ke arah suara keras itu. Di sana ia melihat seorang lelaki yang terlihat sangat panik. Tali tas ransel lelaki itu sepertinya putus, sehingga tasnya terjun bebas mencium lantai. Ditambah lagi resleting tas lelaki itu tidak tertutup sempurna karena berat buku yang sepertinya lebih berat dari barbel 10 kg yang pernah Tony angkat di gym.
Merasa kasihan, Tony pun segera menghampiri lelaki itu untuk membantu mengumpulkan buku-buku yang berserakan di koridor kampus.
“Terima kasih, kawan,” kata lelaki itu.
“Tidak masalah. Sepertinya kau harus mengurangi jumlah buku yang kau bawa,” saran Tony.
“Well, sebenarnya aku juga tidak ingin membawa buku sebanyak ini, tapi sebagai mahasiswa baru, sepertinya tidak salah kalau aku perlu membawa buku sebanyak-banyaknya di hari pertama ini untuk kuletakkan di loker,” kata lelaki itu.
“Mahasiswa baru?” tanya Tony heran.
“Ya, itu karena kampus lamaku bermasalah, sehingga aku harus pindah. Hm... Berarti kita belum saling kenal, kan? Namaku Thomas. Thomas Winchester,” kata lelaki itu memperkenalkan diri.
“Panggil aku Tony. Anthony Harding. Jadi kau mahasiswa fakultas apa?” tanya Tony.
“Aku mahasiswa perfilman, semester 6, bagaimana denganmu?” tanya Thomas.
“Wow, sepertinya kita menuju kelas yang sama. Aku juga mahasiswa perfilman, semester 6,” kata Tony.
Begitulah awal pertemuan Tony dan Thomas. Pertemuan yang tidak disangka Tony akan menjadi awal permasalahannya.
--oo00oo--
Enam bulan sudah Tony dan Thomas bersahabat. Mereka sering sekali berbagi cerita dan pengalaman, terutama dalam menangani wanita. Dua bulan terakhir, Thomas sering sekali bercerita pada Tony tentang pacar barunya yang katanya sangat cantik dan baik. Sampai suatu hari...
“Mau main satu babak lagi?” sahut Tony, mengajak Thomas melanjutkan permainan basket mereka.
“Tidak, aku sudah ada janji dengan pacarku,” kata Thomas sambil berjalan ke bangku di pinggir lapangan.
“Hahaha... Hey, mengapa kau tidak pernah memperkenalkan pacarmu padaku?” tanya Tony iseng.
“Haha... Tidak usah khawatir, kau pasti akan segera bertemu dengannya,” jawab Thomas.
“Benarkah?” tanya Tony terkejut.
“Untuk apa aku bohong? Rumahnya ada di dekat sini, dan ia memang harus pergi untuk membeli obat ayahnya hari ini. Jadi, kupikir aku akan mengantarnya setelah ini,” kata Thomas.
Tiba-tiba, Tony melihat sesosok gadis yang familiar sedang menyeberangi lapangan. Gadis itu membuat Tony mendadak pucat pasi. Dan sepertinya sosok Tony pun membuat gadis itu kaget juga.
“Hei, Bree...” sapa Thomas. “Ayo, aku ingin mengenalkanmu pada sahabatku,” kata Thomas sambil berlari menghampiri gadis itu.
Bree... Jadi, gadis yang Thomas maksud itu adalah... Bree??
“Tony, ini pacarku, Brynn Johnson, dan Brynn, ini sahabatku, Anthony Harding,” kata Thomas dengan ekspresi yang sangat bersemangat.
“Tony,” kata Tony kaku, sambil mengangkat tangannya dengan susah payah, mengajak Brynn bersalaman. Rasanya tangan Tony mendadak menjadi seberat tas yang dibawa Thomas pada hari pertama Tony dan Thomas bertemu.
Brynn pun menyambut tangan Tony.
“Brynn,” kata Bree dengan tatapan yang seakan-akan bertemu hantu.
“Tapi jangan panggil dia Brynn, Tony, panggil saja dia Bree, seperti di dalam buku the Lord of the Rings,” sahut Thomas.
“Yeah, aku tahu,” kata Tony, hampir seperti bisikan.
“Apa?” kata Thomas penasaran karena tidak bisa mendengar kata-kata Tony.
“Eh? Maksudku... salam kenal, Bree,” kata Tony, sambil menutup-nutupi rasa kagetnya.
“Eh, ya. Salam kenal,” kata Bree, yang jelas-jelas berusaha menutupi suasana janggal dan canggung yang terjadi.
“Hey, Tony, kurasa aku harus segera mengantar Bree membeli obat untuk ayahnya. Jadi, sampai ketemu besok di kampus,” sergah Thomas begitu menyadari tegangnya suasana saat itu.
“Yeah, ayahku menunggu. Bye...” kata Bree.
“Bye...” kata Tony kaku.
Tony pun kemudian merenung.
Kenapa aku harus bertemu Bree? Kenapa sekarang? Jerit sebagian hati Tony.
Hey, Tony, sadarlah! Ini kesempatan bagus untuk memperbaiki hubunganmu dengan Bree! Sahut sebagian hati Tony yang lain.
Tapi Thomas? Dia sahabatku! Pikir sebagian yang lain.
Lalu? Ini kesempatan bagus!
Well, benar juga, ini kesempatan bagus.
Maaf, Thomas, tapi aku masih mencintainya...
--oo00oo--
“Thomas, kalau tidak salah kau bilang ayah pacarmu sedang sakit ya? Sakit apa ya?” kata Tony keesokan harinya di kampus.
“Apa ya? Kalau tidak salah stroke... Kudengar semakin lama semakin parah, bahkan sekarang ia harus terus minum obat... Ada apa?” tanya Thomas penasaran.
“Eh... Tidak ada apa-apa... Aku hanya penasaran. Kemarin kan kau bilang Bree harus beli obat untuk ayahnya... Hey, ngomong-ngomong, bagaimana dengan tugas dari Pak Harry?” kata Tony mengalihkan perhatian Thomas.
“Tugas ap...? Oh, astaga!! Tony, aku harus segera pergi ke perpustakaan. Untung saja esainya boleh ditulis tangan...” seru Thomas.
Bagus! Dia lupa dengan masalah Bree... Seru Tony bahagia dalam hati.
“Dan untungnya masih ada...” kata Tony sambil melihat arloji di lengannya, “dua jam lagi...” sambungnya setelah beberapa detik berhenti untuk memperhitungkan waktu saat itu.
“Benar juga... Masih ada dua jam lagi... Fiuh...” kata Thomas lega sambil melihat arlojinya. “Aku harus segera pergi... Kita bertemu nanti saat kuliah, okay?” lanjut Thomas.
“Okie-dokie...” kata Tony mengiyakan sambil beranjak pergi.
Sekarang saatnya...
--oo00oo--
Tok tok tok!
“Permisi...” seru Tony dari luar pagar rumah Bree.
Ternyata Bree masih seperti dulu... pikir Tony dalam hati. Dari dulu, Bree terkenal sebagai seorang pekerja keras yang sayang akan keluarganya. Hal ini membuat keluarga Johnson dipandang baik oleh orang-orang di sekitarnya.
Tak lama kemudian terdengar suara pintu depan rumah dibuka, disusul dengan derit slot pintu gerbang. Kemudian pintu gerbang terbuka kecil, dan dari dalam keluarlah seorang gadis.
“Tony? Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Bree tanpa bisa menyembunyikan rasa ketidaksukaannya.
“Hmm... Rupanya begini cara keluarga Johnson menyambut tamu yang datang sekarang?” kata Tony bercanda.
Tapi sepertinya lelucon Tony terlalu hambar untuk mencairkan suasana.
“Ayo masuk,” kata Bree datar.
“Kenapa kau datang ke sini?” kata Bree begitu Bree dan Tony memasuki rumah.
“Kudengar ayahmu sedang sakit, jadi kupikir tidak ada salahnya aku berkunjung...” kata Tony.
“Ayahku tidak bisa diganggu,” kata Bree tajam.
“Well, kalau begitu, bisa kau berikan ini untuknya?” kata Tony sambil memberikan kepada Bree sekeranjang buah yang dibelinya dalam perjalanan menuju rumah Bree.
Bree pun mengambil keranjang itu dari tangan Tony tanpa mengatakan apa-apa.
“Baiklah, kalau begitu... Sekarang aku harus pergi kembali ke kampus... Bye...” kata Tony.
“Okay. Tinggalkan saja pintu gerbangnya terbuka,” kata Bree.
“Seperti dulu...” kata Tony sambil tersenyum.
“Tidak usah mengungkit masa lalu...” kata Bree sambil berbalik memasuki kamar yang sepertinya kamar ayahnya.
Bree... Kau masih belum bisa memaafkanku? Pikir Tony sambil menghela nafas, lalu berjalan keluar rumah Bree dengan langkah gontai.
--oo00oo--
“Hey, Tony, kemana saja kau?” kata Thomas begitu melihat Tony turun dari motornya di parkiran kampus.
“Hey, Thomas... Aku... eh... Aku pergi mencari makan...” kata Tony berbohong.
“Dasar perut karet! Hey, lihat, ternyata tugasnya tidak begitu sulit...” kata Thomas.
Untung ia tidak menyadari aku tadi berbohong... pikir Tony.
“Benarkah? Aku mengerjakannya sampai larut malam kemarin...” kata Tony.
“Hehe... Hati-hati... Nanti gelarmu sebagai mahasiswa jenius kurebut loh...” gurau Thomas.
“Kurasa aku memang harus lebih berhati-hati... Hahaha...” kata Tony menanggapi gurauan Thomas.
“Hey, kurasa kita tidak bisa bermain basket bersama hari ini... Aku ada beberapa urusan yang harus diselesaikan dengan dosen...” kata Thomas.
“Okay, tidak apa-apa... Aku hari ini juga sedang ingin berjalan-jalan... Tugas-tugas kuliah ini lama-lama bisa membuatku jadi gila!” kata Tony.
“Hehe... Okay... Hm... Sudah waktunya kita masuk. Jangan sampai kita ketinggalan kuliah Pak Harry hari ini...” ajak Thomas.
“Okay...” sahut Tony.
Kesempatan lagi... pikir Tony senang.
Sore itu Tony pergi ke mal. Ia membeli banyak sekali barang kesukaan Bree. Ia membeli banyak sekali coklat--dark chocolate-- kesukaan Bree. Lalu dibelinya juga beberapa novel teenlit. Ada juga banyak sekali boneka dalam kantong belanja Tony.
Kemudian ia memasuki sebuah toko boneka.
“Untuk pacarmu ya?” kata gadis pemilik sebuah toko boneka yang Tony kunjungi.
“Bukan, untuk mantanku,” kata Tony sambil tersenyum.
“Wah, mau mengajak baikan ya? Mari kubantu memilih,” katanya gadis pemilik toko itu sambil mengambilkan sebuah boneka teddy besar berwarna cokelat muda yang membawa bantal hati berwarna merah muda.
“Hm... Lucu sekali...” kata Tony.
“Karena hari ini aku sedang merasa senang, akan kuberi potongan dua puluh persen. Bagaimana?” kata gadis itu.
“Benarkah? Akan kubeli. Kurasa ia akan merasa senang dengan hadiah ini. Terima kasih ya,” kata Tony ramah lalu menyelesaikan pembayaran boneka.Malam itu, sepulang dari mal, Tony segera menghampiri rumah Bree. Seperti dulu, Tony diam-diam memasuki rumah Bree dengan memanjat pagar, lalu meninggalkan semua belanjaan itu di depan pintu rumah Bree bersama dengan sebuah kartu.
“I’ve found a reason to show
A side of me you didn’t know
A reason for all that I do
And the reason is you...”
Semoga kamu suka dengan hadiah-hadiah ini, Bree...Tony
Andai saja Tony tahu reaksi Bree ketika menemukan hadiah-hadiah itu...
--oo00oo--
Malam itu Bree terbangun karena mendengar suara-suara aneh dari pintu gerbang rumahnya.
Aku tertidur lagi... batin Bree.
Seperti biasa, Bree selalu menemani ayahnya hingga ayahnya tertidur. Namun seperti biasanya juga, Bree tetap tidak bisa menahan rasa kantuknya. Seringkali ia tertidur saat sedang menemani ayahnya.
Ada apa di luar? Apa ada pencuri yang ingin masuk? Pikir Bree ketika ia mendengar lagi suara-suara aneh itu. Ia pun teringat pada kebiasaan Tony mengendap-endap masuk ke dalam rumahnya dulu untuk memberinya hadiah. Lalu ingatan akan pengkhianatan Tony pun kembali menyeruak ke permukaan.
Huff, kenapa aku jadi teringat pada manusia itu? Batin Bree dalam hati. Sebaiknya kuperiksa suara-suara itu.
Bree pun berjalan keluar dari kamar ayahnya dengan perlahan menuju ruang tamu. Dari jendela besar yang ada di ruang tamu itu, ia mengintip ke luar rumah. Tapi ia tidak melihat seorang pun. Maka ia pun membuka pintu utama rumahnya.
Begitu membuka pintu itu, matanya langsung tertarik pada berkantong-kantong hadiah yang diletakkan tepat di depan pintunya. Dengan perlahan, ia mengambil sebuah kartu yang dilekatkan dengan selotip pada kantong-kantong itu, lalu membacanya.
Tony.
Manusia menyebalkan yang telah mengkhianatinya pada saat ia sangat membutuhkan orang itu. Ia ingat kejadian satu setengah tahun lalu itu...
Saat itu ayah Bree mendadak mendapat serangan stroke. Seharian ia menunggu ayahnya di rumah sakit sambil terus berusaha menghubungi pacarnya, Tony.
Malam itu, Bree masih ingat betapa leganya ia ketika dokter memberitahunya bahwa ayahnya masih dapat bertahan hidup. Ia sudah khawatir ayahnya meninggal saat itu juga di rumah sakit. Ia pun kembali teringat akan kebutuhan-kebutuhannya yang ia lupakan sejak siang itu karena terus memikirkan ayahnya.
Aduh... Perutku lapar sekali... batin Bree.
Sayangnya rumah sakit itu tidak memiliki kafeteria dan di dekat rumah sakit itu hanya ada sebuah restoran, yang sangat mahal.
Kurasa aku tidak memiliki pikiran lain... Aku harus meminta tolong Tony untuk mengantarku ke rumah... pikirnya.
Maka ia pun menelepon Tony, dan betapa kecewanya ia karena Tony tidak mau menjemputnya pulang dengan dalih “mengerjakan tugas kuliah”. Tony bahkan tidak mau menunggu Bree menyelesaikan ucapannya di telepon. Akhirnya Bree memutuskan untuk makan di restoran mahal itu. Toh ayahku juga belum pulih benar, jadi belum bisa kutinggal jauh, kata Bree dalam hatinya.
Bree kemudian berjalan kaki menuju restoran tersebut, dan alangkah kecewanya Bree ketika ia sedang makan, ia melihat Tony merangkul salah satu teman kampusnya.
Jadi ini tugas kuliahnya??!! Pikir Bree marah. Satu-satunya hal yang bisa ia pikirkan saat itu adalah menuangkan minumannya ke atas kepala Tony.
Dan hal itu benar-benar ia lakukan.
Ingatan akan hal itu membuat hatinya kembali sakit. Ia sadar bahwa sebenarnya ia masih mencintai Tony, tapi ia juga sudah tidak sanggup melihat Tony lagi, karena apa yang telah Tony lakukan padanya benar-benar menyakiti hatinya.
Saat itu, satu-satunya hal yang ia inginkan adalah kesempatan yang baru. Kesempatan untuk belajar mencintai Thomas, dan melupakan Tony.
Pokoknya, besok aku harus mengembalikan semua barang-barang ini... pikir Bree.
--oo00oo--
Hari itu, Tony berangkat kuliah dengan hati yang senang. Sepulang kuliah, ia sudah merencanakan akan menemui Bree lagi.
Tapi ternyata ia tidak perlu menunggu sampai pulang kuliah.
Ketika ia melewati kantin kampus, ia melihat Thomas dan Bree. Mereka sepertinya sedang berbicara serius.
“Hey, bung!” panggil Tony dari kejauhan. Thomas kemudian menengok ke arahnya dengan tatapan yang berbeda dari yang biasa Tony terima.
Tapi ternyata yang bergerak lebih dahulu bukanlah Thomas, melainkan Bree. Bree dengan cepat berjalan ke arah Tony sambil membawa semua kantong belanja yang ditinggalkan Tony di depan pintu rumah Bree. Dan tanpa disangka Tony, Bree malah meletakkan-- atau lebih tepatnya membuang semua kantong itu di depan kaki Tony.
“Ambil semuanya! Aku tidak butuh semua itu.” kata Bree tajam.
“Bree...”
“Apa sebenarnya maksudmu memberikan semua barang itu padaku? Hah?!” tanya Bree marah.
“Bree... Aku sebenarnya...” jawaban Tony kemudian terpotong oleh kata-kata Bree.
“Ingat, Tony, dulu kamu yang mengatakan bahwa kamu tidak lagi mencintaiku. Kamu yang mengatakan tidak lagi membutuhkanku! Dan...” kali ini kata-kata Bree yang dipotong oleh Tony.
“Dan ternyata aku salah! Bree, aku masih mencintaimu. Justru semakin aku menyangkal ini semua, aku semakin merasa hampa, merasa kosong! Bree, aku tidak bisa hidup tanpamu...” kata Tony.
“Tony,” kata Bree setelah keduanya diam selama beberapa saat, “kumohon, jangan sakiti aku lagi... Setiap kali aku teringat padamu, atau melihatmu, atau mendengar kabarmu, aku selalu teringat akan masalah itu, dan aku selalu terluka. Lebih dalam lagi, lebih dalam lagi. Please, Tony... Aku tidak bisa bersama denganmu lagi, karena aku sudah terluka terlalu dalam karenamu...” kata Bree.
“Tapi, Bree...”
“Please, Tony... Satu-satunya yang aku inginkan saat ini adalah hidup bahagia tanpamu. Aku hanya ingin bahagia dengan Thomas. Please,” kata Bree.
Lalu Bree meninggalkan Tony. Begitu Bree pergi, Thomas pun menyusul Bree. Ketika Thomas melewati Tony, Thomas berkata, “Maaf, bung, tapi aku benar-benar kecewa padamu!”
Kejadian ini benar-benar menjadi sebuah tamparan bagi Tony. Dan Tony pun memutuskan untuk pulang ke rumahnya, dengan alasan tidak sanggup mengikuti kuliah hari itu.
--oo00oo--
“I’m sorry that I hurt you
It’s something I must live with everyday
Another pain I put you to
I wish that I could take it all away
And be the one who catches all your dreams...”
Lagu the Reason milik Hoobastank kembali menggelegar di dalam kamar Tony, sementara Tony meringkuk di atas kasurnya.
Bree... Maaf, aku menyakitimu lagi...
Seandainya aku bisa membuatmu bahagia dengan cara apapun juga...
Walaupun itu berarti kamu bahagia bersama orang lain dan bukan aku...
Setelah memikirkan itu semua, Tony segera meraih handphone-nya.
“Halo?” sapa Tony kepada seseorang di seberang telepon.
--oo00oo--
Enam tahun kemudian...
“Mommy, akhirnya kita bisa pergi jalan-jalan...” kata seorang anak berusia tiga tahun kepada ibunya sambil menyeberangi halaman rumah.
“Iya, Mommy juga senang sekali karena kita bisa jalan-jalan bersama...” balas ibu itu dengan tatapan yang sangat bahagia.
“Bree, jangan sampai lupa membawa susu untuk Charlie...” kata suami ibu itu.
“Tenang saja, Thomas, semuanya sudah kusiapkan. Charlie, ayo kita berangkat...” kata ibu itu.
“Ayo, Mommy, Daddy...” seru anak itu bahagia sambil berlari menuju ayahnya yang berdiri di samping mobil keluarga itu.
Keluarga bahagia itu tidak sadar, bahwa ada seseorang yang mengawasi mereka dari kejauhan.
Bree... Lebih baik begini...
Pikir Tony sambil mengawasi Thomas, Bree, dan Charlie, anak mereka, dari kejauhan.
Enam tahun lalu, Tony telah membuat sebuah keputusan yang besar untuknya...
--oo00oo--
“Halo?” sapa Tony kepada seseorang di seberang telepon.
“Mau apa lagi kamu menghubungiku?” tanya Thomas sinis dari seberang telepon.
“Aku ingin bertemu,” kata Tony.
“Ada apa lagi?” kata Thomas malas begitu ia duduk di meja yang telah disewa Tony di restoran dekat Rumah Sakit St. Bernadette.
“Apa kau benar-benar mencintai Bree?” tanya Tony serius.
“Iya,” kata Thomas ragu. Ia mulai curiga ke mana arah pembicaraan ini.
“Berjanjilah padaku kau tidak akan pernah mengecewakannya, dan aku akan memberitahumu semua yang aku tahu dan kau tidak tahu tentang Bree,” kata Tony langsung.
“Ap...?” seru Thomas tidak percaya.
“Berjanjilah!” desak Tony.
“Aku berjanji,” kata Tony.
Lalu Tony menjawab semua pertanyaan Thomas mengenai Bree. Mengenai apa yang Bree suka, apa yang Bree tidak suka, dan apa yang dulu membuat Bree sangat mencintai Tony.
Dan di akhir pembicaraan itu, Tony berkata, “Ingat janjimu, Thomas. Aku akan selalu mengawasi kalian,” kata Tony sebelum beranjak pergi dari restoran itu.
--oo00oo--
Dan Tony tidak pernah menyesali keputusannya waktu itu.
Bree...
Kamu telah memberiku alasan untuk berubah...
Kamu telah mengajarkanku arti mencintai...
Maka izinkanlah aku mencintaimu dengan caraku ini, demi alasan itu...
And that reason is you...
*Oke, jadi ini cerpen saya yang kedua. Semua cerpen yang ada di blog saya boleh diambil secara bebas, tapi bukannya tanpa izin ya... Bagi yang punya akun Facebook, dapat kirim pesan ke inbox saya (ID: Agustina Maria Dominika Prisilia)... Bagi yang tidak punya, mungkin bisa lewat comment di post saya yang paling terakhir. Thanks ya...